Rabu, 29 Desember 2010

Baju Bodo dan Lipa’ Sa’be





Oleh: Bahtiar

Baju Bodo
Baju bodo adalah pakaian adat suku Bugis dan Makassar. Bodo artinya pendek. Jadi baju bodo artinya baju pendek. Tentu saja ada juga baju panjang atau baju la’bu, tapi jenis baju ini kurang dikenal.
Dinamakan baju bodo atau baju pendek karena panjangnya hanya mencapai sedikit di bawah pinggang. Sedangkan panjang baju la’bu atau baju panjang mencapai lutut pemakai.
Walaupun potongan baju bodo mirip dengan baju kurung, tapi tentu saja berbeda. Baju bodo bisa dikatakan minim jahitan. Baju ini hanya menyatukan bagian kiri dan bagian kanan baju. Pada bagian leher tidak terdapat kerah baju seperti baju kurung.
Jaman dahulu, pemakaian warna baju bodo tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada aturan tertentu mengenai hal tersebut. Misalnya baju bodo berwarna hijau hanya boleh dikenakan para wanita bangsawan. Baju berwarna merah untuk anak gadis. Sedangkan wanita yang telah menjanda diharuskan mengenakan baju bodo berwarna ungu. Tentu saja aturan semacam ini kini tidak berlaku lagi.
Lipa’ Sa’be
Lipa’ sa’be adalah pakaian adat suku Bugis lainnya. Lipa’ sa’be adalah sarung sutra yang biasa digunakan sebagai bawahan baju bodo’. Motif lipa’ sa’be kotak-kotak dengan warna-warni cerah.
Pemakai kedua pakaian adat suku Bugis ini biasanya akan memadupadankan warna yang sesuai antara baju bodo dan lipa’ sa’be. Memakainya pun sangat mudah.
Lipa’ sa’be digunakan layaknya menggunakan sarung. Untuk membantu agar tidak melorot ketika digunakan, pemakai biasanya menggunakan tali atau ikat pinggang. Salah satu ujungnya dibiarkan menjuntai dan dipegang dengan tangan sebagai aksen pemanis. Khusus untuk penari, ujung sarung diletakkan di bagian punggung dan dibentuk menyerupai kipas.
Lipa’ sa’be tidak hanya digunakan kaum wanita Bugis. Kaum pria pun menggunakannya. Motif kotak lipa’ sa’be pria biasanya lebih besar. Kaum pria memadupadankan lipa’ sa’be dengan atasan model jas atau sejenis beskap.
Aksesoris
Dalam tradisi pakaian adat suku Bugis juga mengenal pemakaian aksesoris. Aksesoris digunakan untuk melengkapi baju bodo dan lipa’ sa’be yang digunakan. Bila jaman dulu aksesoris terbuat dari emas, jaman sekarang berupa sepuhan warna keemasan.
Beberapa aksesoris yang digunakan antara lain gelang panjang, kalung, anting panjang, gelang lengan atas, bando atau hiasan konde. Bentuk dan jenis perhiasan yang digunakan juga memiliki aturan tersendiri. Misalnya seorang anak kecil mengenakan bando berbentuk kembang goyang di atas kepala. Sementara untuk seorang ibu cukup dengan 1 atau 2 tusuk konde sebagai hiasan di kepala.
Indonesia memang memiliki keanekaragaman adat dan budaya yang beragam. Salah satu diantaranya adalah pakaian adat suku Bugis dan Makassar. Bahkan tak jarang baju bodo dijadikan inspirasi oleh para desainer. Demikian pula penggunaan sarung sutra yang dulu dikenakan hanya untuk bawahan berupa sarung saja. Namun kini para desainer mengolahnya menjadi pakaian-pakaian indah nan menawan.
Sumber : AnneAhira.com

Tradisi Menempati Rumah Adat Bugis

Tradisi Menempati Rumah Adat Bugis
Oleh : Bahtiar
Suku Bugis, seperti suku bangsa lainnya di Indonesia, memiliki rumah adat yang khas. Bentuk rumah adat suku Bugis berbentuk panggung dengan tiang penyangga tertanam di tanah.
Bola dan Saoraja
Bola dalam bahasa Bugis berarti rumah dan terbuat dari papan dan kayu. Penamaan bola merujuk pada rumah yang ditempati rakyat biasa. Bagi kaum bangsawan dan keturunan raja, rumah mereka dinamakan saoraja atau sallasa.
Baik bola maupun saoraja memiliki bentuk hampir sama, yaitu persegi dan memanjang kearah belakang. Hanya saja ukuran saoraja lebih besar dibandingkan bola. Ini tentu saja berkait dengan fungsi sosial terutama menerima tamu dan pelaksanaan adat.
Bagian – Bagian Rumah Adat Suku Bugis
Bola dan saoraja, secara vertikal, dibagi atas tiga bagian. Kolong rumah atau dinamakan awa bola digunakan untuk berbagai keperluan. Misalnya menyimpan hewan ternak dan tempat penyimpanan berbagai alat pertanian dan alat berburu.
Bagian yang ditempati disebut alle bola. Di sini pun terbagi atas tiga bagian. Depan, tengah dan belakang. Bagian depan atau lotang risaliweng memiliki fungsi sosial. Di sanalah orang Bugis menerima tamu dan tempat persemayaman sementara mayat anggota keluarga sebelum dikuburkan.
Bagian tengah rumah atau lotang ritenggah adalah ruang privasi pemilik rumah. Disanalah kegiatan pribadi keluarga dilakukan termasuk penempatan ruang tidur.
Bagian belakang rumah atau lotang rilaleng adalah ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur dan tempat makan. Disini juga ditempatkan kamar untuk anak gadis dan orang tua berusia lanjut.
Bagian atas rumah atau lakkeang digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil panen seperti padi dan jagung.
Adat dan Tradisi 
Sebelum menempati rumah adat suku Bugis, dilakukan sejumlah tradisi. Misalnya melepaskan sepasang ayam jantan dan betina yang dilakukan kepala rumah tangga dan istrinya. Hal ini dimaksudkan sebagai penjaga rumah baru tersebut.
Selain itu dibagian atas rumah ditempatkan beberapa buah-buahan tertentu seperti setandan pisang, setandan kelapa, nanas, nangka, tebu dan buah-buahan manis lainnya. Ini dimaksudkan agar kehidupan kelak di dalam rumah baru tersebut terasa manis. Tamu yang datang akan disuguhi makanan khas yang serba manis seperti onde-onde (kelepon).
Terancam Punah
Seperti rumah adat suku bangsa lainnya, rumah adat suku Bugis pun kini seakan menuju titik akhir. Makin sedikit orang Bugis yang membuat rumah panggung. Mereka kini cenderung membuat rumah menempel ke tanah dan bertembok.
Bahkan rumah adat suku Bugis yang dibangun dulu kini mengalami modifikasi. Bagian kolong rumah kini ditembok dan ditinggali. Mungkin karena kebutuhan tempat tinggal atau akibat modernisasi.
Sumber : www://AnneAhira.com






Melestarikan Rumah Adat Suku Bugis



Oleh: Bahtiar

Bugis adalah nama sebuah suku yang menetap di daerah Sulawesi Selatan. Mereka mempunyai rumah adat suku Bugis yang bentuknya hampir sama seperti banyak rumah adat tradisional lainnya di daerah Sumatra dan Kalimantan, yaitu rumah panggung.
Alasan Keamanan
Masyarakat yang hidup di masa lampau, mengajarkan kearifan untuk berdamai dengan alam melalui bentuk rumah, pakaian adat dan juga cara mereka mencari penghidupan. Mereka membangun rumah bentuk panggung dengan alasan keamanan karena saat itu, binatang buas masih banyak berkeliaran di sekitar tempat manusia bermukim.
Warisan kearifan tersebut dipelihara turun temurun hingga saat ini oleh beberapa warga suku Bugis yang masih mempertahankan bentuk rumah adat suku Bugis tradisional menjadi rumah mereka.
Ini dapat dilihat jika Anda berjalan-jalan ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan tempat suku Bugis bermukim. Rumah-rumah panggung masih banyak berjajar di sepanjang jalan kampung. Alasan mereka adalah, selain melestarikan adat, juga demi keamanan dan kenyamanan.
Desain        
Seperti kebanyakan rumah tradisional lainnya, rumah adat suku Bugis juga memakai bahan dasar kayu sebagai materi utama pembuatnya. Berdiri di atas beberapa tiang penyangga utama yang bernama alliri, rumah panggung itu cukup kokoh hingga ratusan tahun usianya.
Lantai rumah terbuat dari potongan-potongan papan kayu yang disusun pada sebuah kayu yang melintang di sepanjang alliri. Istilah kayu yang jadi penghubung tiap alliri adalah fadongko'.
Ruangan Dalam Rumah    
Dalam sebuah rumah adat suku Bugis, selalu terdapat rakkeang atau langit-langit rumah. Fungsinya seperti plafon. Dahulu, masyarakat Bugis menggunakan rakkeang sebagai tempat menyimpan hasil bumi atau panennya.
Awa bola merupakan ruang yang berada di bawah rumah, atau kolong rumah. Di sana sering digunakan untuk memelihara ternak, atau memasak dan menyimpan kayu bakar. Ale bola adalah ruang tengah rumah tempat tinggal. Di sana biasanya terdapat beberapa ruangan kamar tidur dan juga ruang makan.
Selain bagian-bagian tersebut, beberapa orang menambahkan lego-lego atau ruangan tambahan di rumah adat suku Bugis yang mereka miliki tersebut. Dibagian depan, dapat ditambahkan teras. Di belakang, biasanya untuk dapur.
Melestarikan keberadaan rumah adat dengan menjadikannya sebagai rumah tinggal, otomatis turut menjaga kebudayaan turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang masing-masing suku. Dan hal itu niscaya semakin memperkaya kebudayaan milik bangsa Indonesia.
Sumber : AnneAhira.com

Kepercayaa Suku Bugis


Kepercayaa Suku Bugis: Antara Islam dan To Lotang
oleh : Bahtiar
Rasanya,hampir semua orang bila mendengar nama bugis pikirannya langsung tertuju pada salah satu makanan khas Indonesia berbahan dasar tepung ketan dengan isian kelapa dan gula di dalamnya. Namun, Bugis juga merupakan nama sebuah suku yang ada di Indonesia.
Suku Bugis adalah masyarakat asli dari Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah masyarakat suku Bugis di tahun 2000 mencapai angka enam juta jiwa. Suku Bugis tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, dan Sidrap. Salah satu ciri khasnya adalah sistem kepercayaan suku Bugis.
Sistem Kepercayaan Agama Islam
Masyarakat suku Bugis dengan segala kebudayaan dan adat istiadat juga memiliki sistem kepercayaan. Kepercayaan suku Bugis yang banyak dianut sejak abad ke-17 adalah Islam. Islam dibawa oleh para pesyiar dari daerah Minangkabau.
Para pesyiar tersebut membagi wilayah penyebaran agama Islam menjadi tiga wilayah. Di wilayah Gowa dan Tallo, penyiar yang ditugaskan adalah Abdul Makmur. Di wilayah Luwu, yang diperintahkan untuk menyiarkan ajaran Islam adalah Suleiman. Untuk wilayah Bulukumba, Nurdin Ariyani yang ditugaskan untuk bersyiar.
Sistem Kepercayaan To Lotang
Selain Islam, kepercayaan suku Bugis lainnya adalah sistem kepercayaan To Lotang. Sistem kepercayaan To Lotang memiliki penganut sebanyak 15 ribu jiwa. Masyarakat yang menganut sistem kepercayaan To Lotang tinggal di wilayah Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Sistem kepercayaan To Lotang didirikan oleh La Panaungi. Kepercayaan ini ada karena pendirinya mendapatkan ilham dari Sawerigading. Sawerigading adalah jenis kepercayaan yang memuja Dewata SawwaE.
Kitab suci bagi penganut sistem kepercayaan ini adalah La Galigo. Isi yang terkandung dalam kitab tersebut diamalkan turun-menurun secara lisan dari seorang uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya.
Sistem kepercayaan ini memiliki tujuh orang tokoh agama, yang diketuai oleh seorang Uwak Battoa. Sementara itu, tokoh agama yang lain mengurusi hal-hal mengenai masalah sosial, usaha tanam, dan penyelenggaraan upacara ritual.
To Lotang menurut bahasa Bugis artinya adalah 'orang selatan'. Zaman dulu, masyarakat ini sering mengungsi dari satu daerah ke daerah lain di Sulawesi Selatan. Setelah berkali-kali mengungsi, pada 1609, masyarakat dengan sistem kepercayaan ini menetap di Amparita berkat perintah dari Raja Sidendreng.
Suku Bugis memiliki beberapa kerajaan, di antaranya Kerajaan Wajo, Kerajaan Soppeng, Kerajaan Makassar, dan Kerajaan Bone. Kerajaan yang terdapat di sekitar suku Bugis sering mengalami konflik. Biasanya, konflik di antara mereka terjadi akibat perebutan daerah kekuasaan.
Sumber : www://AnneAhira.com

Senin, 13 Desember 2010

Kebudayaan Bugis


Kebudayaan Bugis
Kebudayaan Bugis berasal dari kepulauan Sulawesi di Indonesia, dan kini dengan populasi seramai tiga juta, mendiami hampir kesemua kawasan di Sulawesi Selatan. Penaklukan Belanda pada kurun ke-17 menyebabkan sebahagian daripada mereka berpindah dan kini telah bercampur dengan suku lain di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Semenanjung Malaysia dan Sabah,Sarawak, Mereka adalah pedagang rempah2, kemenyan atau kemian.
Sebagai pengetahuan am bertulis yang dikawal oleh british bahawasanya, etnik Bugis cukup terkenal di dalam bidang maritim di Kepulauan Melayu dan di dalam bidang ekonomi. Mereka juga terkenal sebagai pahlawan yang berani, lanun yang digeruni(digelar dengan teknik propaganda yang berjaya oleh pesaing seperti Belanda dan inggeris.) dan pedagang yang berjaya. Pusat tumpuan utama bagi kebudayaan dan ekonomi etnik ini adalah Ujung Pandang atau dikenali sebagai Makassar. Orang Bugis juga merupakan penganut agama Islam.

Sejarah Awal Bugis menurut La Galigo

Kerajaan pertama Bugis mengikut La Galigo ialah Wewang Nriwuk, Luwuk dan Tompoktikka. Luwuk mendapat kedudukan istimewa kerana ia dianggap sebagai ketua Bugis. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, berlakunya perubahan didalam sosio-politik, ekonomi dan agama disebabkan berlakunya migrasi penduduk dari persisiran pantai hingga ke tengah hutan belantara membuka penempatan baru.
Didalam bidang ekonomi, penanaman padi sawah, pembuatan besi dan penggunaan kuda diperkenalkan. Dari segi agama, adat membakar mayat di sesetengah tempat mula diamalkan. Pada akhir abad ke 15, munculnya beberapa kerajaan baru menentang kerajaan Luwuk. Antaranya ialah Gowa (Makassar), Bone dan Wajo'. Kematian Dewaraja, seorang raja Luwuk, menyebabkan perebutan dinasti untuk memerintah Tana Ugi. Gowa bersekutu dengan Bone menawan Luwuk dan sekaligus mempunyai pengaruh yang besar ke atas Sulawesi Selatan/kebudayaan bugis.

Perkawinan Bugis


Perkawinan Bugis
By : Bahtiar
Artikel  ini merupakan hasil penelitian Susan Bolyard Millar di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Susan menjelaskan perkawinan Bugis dalam lima tahap: (1) Pelamaran; (2) Pertunangan; (3) Pernikahan; (4) Pesta Perkawinan; (5) Pertemuan resmi berikutnya. Yang kesemuanya itu dilandaskan pada prinsip dan tata cara adat.

Susan membongkar dan mendesain kembali nilai-nilai budaya yang terdapat dalam prosesi perkawinan Bugis dan penulis juga berhasil mengangkat ke permukaan makna-makna yang melekat dalam pernak-pernik pernikahan yang sering dilewatkan begitu saja
Susan juga mengamati posisi duduk, cara menempatkan nama dalam teks undangan, orang-orang yang diundang melakukan ritus tertentu dalam serangkaian ritus panjang pernikahan tersebut dengan menggunakan pendekatan semiotik (simbol, ikon, indeks) dan semantik (makna kata/kalimat), dari tempat khususnya wilayah dimana ia melakukan riset penelitian yakni di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, sebuah wilayah yang terletak pada 175 km di kawasan barat daya Makassar.

Didalam buku pula disajikan dengan berbagai macam aspek yang terjadi sebelum dan sesudah prosesi ritual perkawinan yang dilakukan Suku Bugis. Bukan hanya itu, ia juga memaparkan dengan berbagai macam peran orang yang diamanatkan untuk menjalankan prosesi perkawinan tersebut, dipandang dari aspek budaya, sosial, dan ekonomi.

Proses perkawinan dilakukan dengan menitikberatkan pada istilah orang yang dituakan (Tau Matoa). Tau Matoa merupakan bentuk pencapaian seperti apa yang harus ditempuh oleh calon pengantin yang disesuaikan dengan bentuk dan keadaan sosial, ekonomi dan politik saat itu.Tau Matoa juga memiliki peran sentral yang dipandang dari aspek keturunan (penentuan generasi), terbukti Tau Matoa selalu memiliki pewaris. Pewaris itu bisa saja anak atau keponakan Tau Matoa sebelumnya.

Karena itu, dalam budaya Bugis dapat dikatakan bahwa sifat-sifat unggul diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya sehingga Susan berasumsi bahwa sejarah Sulawesi Selatan adalah sejarah tentang seberapa besar jaringan Tau Matoa, seberapa besar mereka memelihara kualitas keturunan dengan pernikahan serumpun, serta seberapa besar mereka menjaga pertalian kerabat dengan mendorong perkawinan serumpun (endogami) kepada para pengikutnya serta merangkul kekuatan baru dengan strategi perkawinan dengan orang luar (eksogami) dengan rival sesama Tau Matoa atau dengan orang luar yang dapat mendatangkan keuntungan baik dalam bidang usaha, ekonomi, pemerintahan atau pertanahan.
Susan juga menjelaskan bagaimana kuasa politik berlangsung di SUlawesi Selatan, bagaimana kelompok-kelompok kekuasaan baru terus bermunculan, dan juga bagaimana sistem perkawinan Bugis modern terbentuk dari sistem perkawinan zaman dulu yang bertahan hingga sekarang. Semua itu diulasnya dengan kaitan sejarah etnografi pernikahan, sejarah Orang Bugis, pembentukan kerajaan-kerajaan yang muncul pada Abad ke-16 hingga Abad ke-20, revolusi dan pemberontakan pasca kemerdekaan, penciptaan kestabilan dalam ketegangan dibawah kekuasaan Orde Baru. Akan tetapi semuanya itu menjelma dan terkikis oleh peradabang modern sehingga budaya, adat istiadat, dan nilai kesakralan terkikis oleh arus modernisasi.
Buku ini menyajikan pula tata ruang baru dalam berbagai macam paradigma-paradigma yang dipandang dari aspek sosial, ekonomi, politik dalam prosesi perkawinan Bugis, khususnya di Kabupaten Soppeng, SUlawesi Selatan.
Check out my other on Kamasutra-Bugis

Kamis, 09 Desember 2010

Penikahan Bugis

Pernikahan Bugis, "Menipu" dan Kehilangan Makna?
oleh : Bahtiar
Mereka adalah Drs.M. Yahya, MA yang juga kerap kami panggil “Yahya Pojiale” dosen pada jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas. Ketiga, Aslan Abidin, sastrawan yang lahir di Soppeng, 31 Mei 1972. Buku “Pernikahan Bugis” sendiri, menurut penyuntingnya (Ininnawa, 2009) satu-satunya penelitian serius, mendalam, dan menyeluruh tentang pesta pernikahan Bugis. Tak lupa, menelisik aspek-aspek sosial-politik yang tersurat di baliknya.
Dalam buku itu, tidak hanya mendapatkan abstraksi yang berlangsung di dalam pernikahan Bugis. Buku ini mendedah tata ruang aula pesta, ritual, hingga teks undangan pernikahan Bugis yang penuh dengan simbol-simbol politis yang berjalin di alam pikiran orang Bugis.
Peserta yang hadir sekitar 20 orang termasuk ketiga pembicara. Saat saya sampai telah hadir Wahyuddin Halim yang sedang berbincang dengan Mattewakkan “Matte” Monga (yang saat itu didaulat sebagai moderator).
Wahyuddin Halim sebagai pembicara pertama, dengan gamblang menyebut perkawinan dengan adat Bugis seolah telah menjadi lembaga judi dan lelang. Bagi Wahyuddin yang memang telah banyak menyorot ihwal kebudayaan kaitannya dengan implementasi budaya dan ritual keagamaan di Sulawesi Selatan ini, pernikahan Bugis telah menjadi ajang untuk mencari pihak (pasangan) yang bersedia meyiapkan mahar dan uang belanja paling tinggi.
Wahyuddin yang beristrikan wanita dari Tanah Jawa ini, bahkan mengambil contoh tentang dirinya yang lahir dan besar di Wajo, praktek semacam ini telah menjadi gejala yang disadari atau tidak jika tidak mampu mempunyai argumentasi tentu akan menyeret dirinya pada “praktek” yang sedemikian itu.
Disadari bahwa inilah kecenderungan perilaku masyarakat yang setidaknya tidak bisa dilepaskan dari interpretasi mereka atas “tiga ujung”, atau (Makassar, tallu cappaq), yaitu ujung kelamin, lidah dan badik. “Tapi saat ini, saya kira kita perlu menambahkannya dengan ujung yang keempat yaitu ujung pena” Katanya dengan senyum. Tujuannya jelas,bahwa jika kompetisi diarahkan pada produktifitas, kreatifitas (yang diidentikkan dengan kecerdasan dan kerja keras) tentu akan menjadi entry point yang baik.
Demi pencitraan di masyarakat itulah, pesta perkawinan bisa diselenggarakan dengan uang pinjaman sekalipun.Secara gamblang bahwa keinginan yang berlebihan dengan status sosial ini setidaknya berkaitan dengan motif sosial, yaitu ekonomi, keamanan, dan aktualisasi diri .
Di mata Aslan, Buku Susan masih terbatas pada locus Soppeng dan hanya memotret situasi pada tahun 70an hingga 80an serasa “tidak utuh” namun demikian dia tetap menganggap bahwa “generalisasi” masih dibolehkan jika membaca tren dan gagasan yang dikemukakan oleh Susan.
Hal lainnya adalah belum terkuaknya penjelasan tentang makna dan urgensi setiap prosesi bahkan yang terkait dengan “jenis kue yang disajikan dan berkelas, tentang siapa yang masak nasi, dan bagaimana apresiasi atas peran masing-masing pihak”
Coba lihat menu-menu buatan yang memanipulasi bentuk dan isinya. Begitulah, ketiga penanggap sepakat bahwa telah terjadi perubahan pada tradisi dan pelaksanaan perkawinan Bugis ini, setting perkawinan yang sejatinya menjadi suci dan agung telah bergeser menjadi panggung penuh kepalsuan, “keterpaksaan” dan persaingan belaka. Mereka juga menyepakati bahwa hal ini terjadi karena cara berpikir masyarakat Bugis dalam menyikapi perbedaan strata dan peran sosial di tengah masyarakat.

 Check out my other on Budaya Bugis

Rabu, 08 Desember 2010

Budaya Bugis

Manusia Bugis, Rantau & Budayanya
By ; Bahtiar
Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”
Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.

Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.

Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.

Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.

Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?

Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.

Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. 
Check out my on Kamasutra Bugis

Selasa, 07 Desember 2010

Kamasutra Bugis


Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh (kamasutra bugis)
By : Bahtiar
Hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng adalah tehnik bertahan dalam persetubuhan. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.
Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme.
Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat.
 Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama.
(h.151) Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan.
 Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri. 
Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. "Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas."

Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari "...Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,"

Dia melanjutkan, "kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang.
Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan.
Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. "Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh." (hal.166)
Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang  warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.

Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.

Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh.

Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, "bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma'.

Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri.
 Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (thamzil thahir)     
check out my other on Bahsa Bugis