Selasa, 18 Januari 2011

Adat Suku Bugis


PESAN PUANG RI MAGGALATUNG
(TOKOH CENDEKIAWAN PADA ZAMAN KERAJAAN WAJO-BUGIS)
DI SULAWESI SELATAN
By : Bahtiar
Makkedai Puang Maggalatung, Lempu naacca, Iyanaritu madeceng riparaddeki riwatakkalee, Iyatonaritu temmassarang dewata Seuwae. Naiya riasengnge acca, Iyanaritu mitae munri gau. Naiya nappogau engkapi madeceng napogaui. Narekko engkai maja, ajasija mupogaui nrewei matti jana riko.
Artinya :  Berkata Puang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian, itulah yang paling baik ditanamkan pada diri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata Tunggal. Yang disebut pandai ialah kemampuan untuk melihat akhir(akibat) perbuatan. Dan dikerjakannya adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan keburukan, janganlah lakukan. Bilamana tidak baik, jaganlah hendaknya engkau kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya kepadamu.”


IKHTISAR PETA BUDAYA SUKU-SUKU DI SULAWESI SELATAN

Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi
Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Man-dar.
Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo, Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas)), Enrekang, Luwu, Pare- pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang- orang Duri atau Massenrempulu’.
Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.
Berdasarkan rumpun bahasa Daerahnya, maka di Sulawesi Selatan ini ada enam rumpun bahasa, seperti : Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Mandar, Bahasa Luwu, Bahasa Toraja, dan Bahasa Massenrempulu’.
Rumpun bahasa Makassar meliputi daerah Gowa, Takalar, Jeneponto(Tauratea), Bantaeng, Selayar, Kajang (Bulukumba), Manipi ( Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai).
Rumpun bahasa Bugis meliputi daerah Sinjai, Bone, Wajo, Pinrang, Sidenreng-Rappang (sidrap), Bulukumba, Pare-Pare, juga di sebagian daerah Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Maros, Mandar, Enrekang, Barru dan palopo (Luwu).
Rumpun bahasa Mandar meliputi daerah Polmas, Majene dan di sebagian daerah
Pinrang.
Rumpun bahasa Luwu meliputi daerah Luwu dimana sub-sub lokalnya punya bahasa sendiri-sendiri. Di daerah ini ada dua belas bahasa, seperti bahasa Bugis, bahasa Barru, bahasa Siko, bahasa Lubung, bahasa Wotu, bahasa Pajatabu, bahasa Mangkutana, bahasa Saroako, bahasa Paraso, bahasa Siwa, bahasa Toraja dan bahasa Pamuna. Bahasa Bugis digunakan oleh masyarakat dalam kota palopo ( ibu kota kabupaten Luwu) dan daerah pesisir pantai Wotu. Sub-sub lokal bahasa dan karakteristik budaya di daerah ini menandai adanya Sembilan anak-suku.
Rumpun bahasa Toraja meliputi daerah Toraja, terutama Makale dan Rantepao, juga di sebagian wilayah sub lokal Masamba (di daerah Luwu, sekitar enam puluh kilometre utara palopo).
Rumpun bahasa Massenrempulu’ meliputi daerah Massenrempulu’ , terutama Enrekang dan daerah-daerah sekitarnya yang diliputi gunung-gunung: Maspul (Massenrempulu’), yakni di sebagian wilayah Kabupaten Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas) dan Toraja.
Ditinjau dari segi penyebaran bahasa dan jumlah area masyarakat pemakainya, jelas di sini suku Bugis-Makassar merupakan suku-bangsa utama dan terbanyak mendiami daerah kontinental Sulawesi selatan ini. Urutan di bawahnya : Toraja menyusul Mandar.
Bertolak dari pemaparan di atas, penulis mencoba menggali perbendaharaan “ SIRIK” sebagai study Antrophologi Budaya Di Sulawesi selatan. Berikut ini penulis menggungkapkan aspek-aspek “SIRIK” itu sendiri.
Dengan mengkaji unsur-unsur yang bertali temali dengan permasalahan “SIRIK” tersebut, misalnya aspek-aspek “PACCE” (Makassar) , atau “PESSE” (Bugis), tentu saja dalam penggalian nilai-nilai “SIRIK” ini kita akan bersentuhan pula dengan aspek-aspek sejarah kehadiran suku-suku bangsa tersebut, secara selintang pandang. Dan sedikit
banyaknya bersentuhan pula dengan aspek falsafah hidup sikap mental masyarakatnya yang melatar-belakangi permasalahan “SIRIK” yang kita coba gali ala kadarnya melalui Risalah Study Antrophologi ini.
Catatan : Oleh lembaga Bahasa Nasional Cabang III Ujung Pandang, telah diusahakan langkah-langkah pemetaan bahasa-bahasa yang terdapat atau yang dipergunakan suku-suku yang kini mendiami Sulawesi selatan secara turun temurun itu.

Senin, 10 Januari 2011

perkawinan adat bugis


Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.
Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..
“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.
Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.
Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.
“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.
Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.
“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.
Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.
Punk dan tradisi lokal
Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.
Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.
Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.
Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu. (Dikutip dari http://nurulhuda.wordpress.com)

Sabtu, 08 Januari 2011

Pernikahan Adat Bugis



Pernikahan  adat bugis
Oleh : Bahtiar

Pernikahan adalah salah satu cara untuk melanjutkan  keturunan berdasarkan cinta kasih, selanjutnya  pernikahan juga memperat hubungan antar keluarga, antar suku, bahkan antar bangsa. Dengan hubungan pernikahan dapat membuat suatu ikatan yang disebut  massedi siri berarti bersatu dalam mendukung dan mempertahankan kehormatan keluarga.
Pernikahan ideal yakni terjadi bila mereka mendapat jodoh dalam lingkup keluarganya sendiri seperti a) siala massappisiseng yakni pernikahan antarsepupu sekali, b) siala massappokadua yakni pernikahan antrsepupu kedua kali, c) siala massappokatellu yakni pernikahan antara spepupu ketiga kali

Pembatasan jodoh

Dalam masyarakat Bugis dikenal adanya pelapisan sosial golongan, maka terjadi pula pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan. Pada zaman lampau anak keturunan bangsawan dilarang berhubungan dengan orang biasa, jika dilanggar maka pasangan ini dikenakan hukuman riladung yang artinya pelanggar dikenakan hukuman berat yaitu keduanya akan ditenggelamkan kedalam air.

Syarat-Syarat Untuk Menikah

Seorang pria yang akan menikah harus memenuhi syarat yakni : nallebi mattulilingi dapurengnge wekka pittu, artinya ia harus mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuk kali, bila ia mampu mengadakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari maka ia boleh kawin.

Tata Cara Peminangan

Mappesek-pesek suatu cara untuk mengetahui sudah terikatnya si wanita yang dipilih atau tidak samasekali. 

Madduta yakni pengiriman utusan dari pihak pria untuk mengajukan lamaran. Utusan ini harus orang yang dituakan dan tahu seluk beluk madduta.

Waktu Pelaksana Pernikahan


Tahap yang ditempuh untuk menikah yakni acara mappetu ada atau memutuskan kata sepakat, di acara ini juga dibahas masalah tanra esso (penentuan hari), balanca (uang belanja), dan sompa (mahar)

Mappacci

Mappacci yakni perawatan bagi calon pengantin wanita sebelum pelaksaan pernikahan.

Selain upacara pernikahan terdapat juga upacara keselamatan kehamilan dan upacara kematian, dalam upacara keselamatan kehamilan tahapan yang dilakukan yakni: makkampai sandro (menghubungi dukun), mappare to mangideng (memberi makan orang mengidam.
 Dalam upacara kematian  biasanya diutus dua atau tiga orang untuk memberi tahu kerabat dekat kemudian, penguburan akan dilaksanakan, setelah dilaksanakan akan diadakan bilampeni atau upacara keselamatan yang diadakan sejak hari penguburan jenazah, dan mattampung pada hari ketujuh dan kesembilan diadakan upacara ini.


Minggu, 02 Januari 2011

Kebudayaan Suku Bugis


Adat dan Kebudayaan Suku Bugis Di Sulawesi Selatan
By : Bahtiar

Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.

Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian ,orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya.
 Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
 Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).