Senin, 18 April 2011

Kebudayaan Bugis


Kebudayaan Bugis

Kebudayaan Bugis berasal dari kepulauan Sulawesi di Indonesia, dan kini dengan populasi seramai tiga juta, mendiami hampir kesemua kawasan di Sulawesi Selatan. Penaklukan Belanda pada kurun ke-17 menyebabkan sebahagian daripada mereka berpindah dan kini telah bercampur dengan suku lain di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Semenanjung Malaysia dan Sabah,Sarawak, Mereka adalah pedagang rempah2, kemenyan atau kemian.
Sebagai pengetahuan am bertulis yang dikawal oleh british bahawasanya, etnik Bugis cukup terkenal di dalam bidang maritim di Kepulauan Melayu dan di dalam bidang ekonomi. Mereka juga terkenal sebagai pahlawan yang berani, lanun yang digeruni(digelar dengan teknik propaganda yang berjaya oleh pesaing seperti Belanda dan inggeris.) dan pedagang yang berjaya. Pusat tumpuan utama bagi kebudayaan dan ekonomi etnik ini adalah Ujung Pandang atau dikenali sebagai Makassar. Orang Bugis juga merupakan penganut agama Islam.

Sejarah Awal Bugis menurut La Galigo

Kerajaan pertama Bugis mengikut La Galigo ialah Wewang Nriwuk, Luwuk dan Tompoktikka. Luwuk mendapat kedudukan istimewa kerana ia dianggap sebagai ketua Bugis. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, berlakunya perubahan didalam sosio-politik, ekonomi dan agama disebabkan berlakunya migrasi penduduk dari persisiran pantai hingga ke tengah hutan belantara membuka penempatan baru.
Didalam bidang ekonomi, penanaman padi sawah, pembuatan besi dan penggunaan kuda diperkenalkan. Dari segi agama, adat membakar mayat di sesetengah tempat mula diamalkan. Pada akhir abad ke 15, munculnya beberapa kerajaan baru menentang kerajaan Luwuk. Antaranya ialah Gowa (Makassar), Bone dan Wajo'. Kematian Dewaraja, seorang raja Luwuk, menyebabkan perebutan dinasti untuk memerintah Tana Ugi. Gowa bersekutu dengan Bone menawan Luwuk dan sekaligus mempunyai pengaruh yang besar ke atas Sulawesi Selatan/kebudayaan bugis.

Pengislaman Bugis

Sulawesi Selatan/kebudayaan bugis pada abad ke 16 mengalami suatu perubahan yang besar. Dalam tempoh masa ini, komuniti Bugis dan Makassar berjaya diislamkan oleh Abdul Makmur, seorang Minangkabau. Manakala pada pertengahan abad ke 16, Sulawesi Selatan dikuasai oleh Gowa dan Bone. Kerana kedua-dua negeri ingin meluaskan kuasa mereka, maka tercetuslah peperangan sesama mereka dan Bone dikalahkan. Sebagai membalas dendam, seorang putera Bone bernama Arung Palakka bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Makassar. Pada tahun 1667-1777, Makassar jatuh ketangan Belanda dan ini menyebabkan migrasi Bugis ke Sumatra dan Tanah Melayu.

Bugis Dan Pembentukan Indonesia

Pada tahun 1799, Belanda menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Dalam tempoh pemerintahan Belanda, pelbagai unsur-unsur baru diperkenalkan seperti sistem cukai dan buruh paksa. Pendudukan Jepan pada tahun 1942 mengubah pemikiran rakyat Sulawesi Selatan terhadap Belanda. Pada tahun 1945, selepas pengunduran Jepan, Sukarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia tanpa pengiktirafan Belanda. Ini mencetuskan pertumpahan darah di Indonesia. Belanda kemudiannya terpaksa berundur dari Indonesia selepas komuniti dunia mengiktiraf kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Bugis Di Tanah Melayu

Bugis memainkan peranan yang penting dalam sejarah di Tanah Melayu. Mereka terlibat secara langsung atau tidak langsung di dalam politik dan perbalahan negeri-negeri Melayu ketika itu, terutama sekali negeri Johor. Ia bermula apabila Daeng Loklok ingin memerintah Johor tetapi tidak dipersetujui oleh pemerintah negeri Johor Riau Lingga ketika itu, iaitu Raja Kechil. Ini menyebabkan Daeng Loklok atau Bendahara Husain meminta bantuan Raja-Raja Bugis untuk menumpaskan Raja Kechil. Bermula dari sinilah campur tangan Bugis di Tanah Melayu. Malah,Raja Ali, anak Daeng Chelak, Raja Lumu, dinobatkan sebagai Sultan Selangor pertama.

Bahasa kebudayaan Bugis

Konsonan Lontara
Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi.

Sastera kebudayaan Bugis

La Galigo

La Galigo adalah epik terpanjang dunia. Ia wujud sebelum epik Mahabrata. La Galigo tidak boleh diterima sebagai teks sejarah kerana ia penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walaubagaimanapun, ia tetap memberi gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke 14.Di kutip dari ; http://ms.wikipedia.org/wiki/Bugis

Kamus Bugis


Kamus Bugis


Anak Dara        = Gadis
Anak kallolo     = Pria bujang
Anak Ogi         = Orang Bugis
Aseng            = nama
Bede’            = Katanya
Bale             = ikan
Caritakku        = Ceritaku
Canrikku         = Pacarku
Canring          = pacar 
Cenning rara     = mantra pengikat lwn jenis
Cinna            = Hasrat
Degagae          = Yang tidak ada
Dewissengngi     = Saya tdk tau
Engkae           = Yang ada
Gora-gora        = berteriak-teriak
Jokka            = Jalan
Jokka-jokka      = jalan=jalan
Malabo           = Dermawan
Mikkiri          = Thought
Misseng/Muisseng = You know
Manre            = makan
Minung           = minum
Maccanrring      = Berpacaran
Maccarita        = bercerita
Makkelong        = bernyanyi
Mabbaine         = beristri
Malakkei         = mersuami
Maggolo          = Bermain bola
Mabbaju          = Berbaju/Berpakaian
Mattole          = Merokok
Mappelo’         = Merokok
madoraka         = durhaka
Melo             = Maelo = Mau, hendak, akan
Mitu             = Imbuhan ~ lah
massandala’e     = memakai sendal
Motoro           = motor
Namalomo         = Sehingga akan mudah
Na pojiwi        = dia suka
Niga?            = siapa
Niga asemmu?     = Siapa nama anda?
Punna Bola       = Tuan Rumah
Selleng          = Muslim
Sijagguru        = Berkelahi
Sukkuruki        = Syukuri
Sabbarakengngi   = Bersabarlah
Laomu            = Jalanmu
Tarasi           = Terasi
Tappa            = muka
Tappere          = Tikar
Onroang          = tempat
Oto              = mobil
Pappojikku       = yg kusuka
Warekkada        = katanya
Sekke’           = Pelit
sabbara          = sabar
Sompe            = merantau
Yabbereang       = diberikan (ke orang lain)
Waseng           = Bukankah
                 = Kamu tahu
De               = tidak
Tassikke’nyawaku = tercabut rohku (harfiah)                    = terkejut, kaget
Tomatoa          = orang tua
Tosilariang      = kawin lari
Kongkamana       = ada-ada saja

Rabu, 09 Februari 2011

Rumah Bugis


RUMAH BUGIS
Oleh : Bahtiar
Keunikan tersendiri dimiliki rumah bugis, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego ].

Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :

1. Tiang utama ( alliri ).
Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2. Fadongko’,
yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
3. Fattoppo,
yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.

Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ),
Kepercayaan orang bugis bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggal di kampung, seperti diriku ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi.
Mengapa saya suka ? karena saya orang bugis… hehehe.. :) . Sebenarnya bukan karena itu, tetapi lebih kepada faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas,bebas banjir ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas.. Wong rumahnya tinggi, hehehe

Bagian - bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :

1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.Bagian ini juga biasa dipakai untuk istirahat di siang hari.Serta kebanyakan orang bugis memelihara ternak seperti ayam kampong di kolom rumah yg dibikinkan (rebbang) kandang.

Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.. simple kan. :)


kamasutra versi bugis


Hadiah Pernikahan Terindah
By; Bahtiar

KITAB persetubuhan Bugis, Assikalabineng, punya ciri khas tersendiri. Dia adalah pergulatan pengetahuan, pengalaman, dan spiritualitas masyarakat Bugis soal puncak kebudayaan yang amat bersifat private (pribadi).

India mengenal Kama Sutra yang merupakan saripati pengetahuan persetubuhan dari kitab Vatsyayana. Meski belakangan kama sutra lebih menonjolkan lelaku atau gaya seksual, tapi sebenarnya ini adalah "gaya hidup" raja-raja untuk mencapai moksa.
Kebudayaan Jawa juga mengenal Serat Centhini dan Serat Nitimani karena terpengaruh kebudayaan Islam, lelaku ini untuk mencapai makrifat.

Sebagai salah satu dari beberapa suku bangsa yang memiliki aksara sebagai medium, Lontara Assikalaibineng, bisa disejajarkan dengan kitab-kitab dari bangsa berbudaya tinggi lainnya.

Kita Assikalabineng menempatkan laki-laki sebagai inisiator. Ajaran, tata cara, syarat, atau mantra dalam bahasa Arab atau Lontara, menempatkan pria sebagai tokoh sentral.


Tak mengherankan, ajaran ini hanya diajarkan kepada lelaki yang akan menikah atau sudah menikah. Ajaran ini tidak sama sekali diperuntukkan bagi lelaki yang belum dewasa.

Masyarakat Bugis amat meyakini bahwa seorang suami yang akan menikah di masa "pingitan" sudah membekali diri dengan pengetahuan dan kebijaksanaan Assikalaibineng.
Pengetahuan inilah yang mengkonfirmasikan, betapa berharganya malam pertama bagi laki-laki. Dengan ilmu dan lelaku ini, mempelai pria bisa mengetahui, apakah istrinya masih virgin atau jusrtu akan membuatnya malu.

Ritual Agama
Kitab ini menempatkan hubungan seks di malam pertama dan malam-malam selanjutnya sebagai ritual keagamaan, bukan wadah pelampiasan nafsu, atau menghabiskan masa honeymoon.

Buku ini, seperti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana menahan dan mengatur hawa nafsu dengan prosedur teratur dan zikir.

Di halaman 140, misalnya, diajarkan tata cara awal sebelum melakukan hubungan seks. Pasangan mandi secara terpisah, lalu berwudu dan melakukan tafakkur dalam salat sunnah. Buku ini faham betul, bahwa hasrat pria selalu lebih besar, namun paling cepat "terlampiaskan". Proses ini, diebut dengan "nikah batin". Istilah ini merujuk kepada pengelaman anak mertua nabi Muhammad, Ali dengan Fatimah.

"..bila kamu dan istrimu pertama kali berhubungan, maka tafakurlah lebih dulu. Pusatkan mata hatimu, lihatlah dirimua sebagai Alif , dan istrimu sebagai huruf Ba."
Lalu peganglah lengannya lalu ucapkan salam berbunyi, Assaalamu alaikum, Ali memegang, Fatimah dipegang. Apabila kamu memegang tangannya maka ucapkan syahadat. Ucapkan dalam hati atau Jubril menikahkan saya, Muhammad Wali saya, wali saksi saya, atas kehendak Allah taala, kunfayakun. Lalu mulailah dengan ciuman, dan ...... "

Nikah Batin
Konsep nikah bathin ini adalah amalan dan ajaran tasawwuf dalam peristiwa Assikalaibineng. Proses ini adalah penyatuan unsur lahiriah dan bathiniah antara lelaki dan perempuan. Dalam kitab ini, disebut penyatuan eppa sulapa. Penyatuan tubuh dengan tubuh, hati dengan hati, nyawa dengan nyawa, dan rahasia dengan rahasia.
Dengan, konsep nikah batin inilah yang merupakan klimaks dalam konteks spiritualitas manusia dalam hubungan seks, atau "tassawuf seks".

Dan inilah, yang menyebabkan kenapa para bangsawan dan orang berilmu Bugis-Makassar dalam pesta perkawinannya biasanya memakan waktu persiapan yang lama.
Kitab Assikalaibaineng adalah ilmu yang ditunggu-tunggu atau hadiah perkawinan berharga bagi pria dewasa yang segera ke pelaminan dan akan mempraktikkannya di malam pertamanya.(thamzil thahir)

Judul: Assikalabineng Kitab Persetubuhan Bugis
Penulis: Muhlis Hadrawi
Penyunting: Anwar Jimpe Rahman dan Nuraidar Agus
Penerbit: Ininnawa, 2008
Tebal: 192 + v halaman, 15x21 cm
SUMBER : http://www.tribun-timur.com/kamasutrabugis

Selasa, 18 Januari 2011

Adat Suku Bugis


PESAN PUANG RI MAGGALATUNG
(TOKOH CENDEKIAWAN PADA ZAMAN KERAJAAN WAJO-BUGIS)
DI SULAWESI SELATAN
By : Bahtiar
Makkedai Puang Maggalatung, Lempu naacca, Iyanaritu madeceng riparaddeki riwatakkalee, Iyatonaritu temmassarang dewata Seuwae. Naiya riasengnge acca, Iyanaritu mitae munri gau. Naiya nappogau engkapi madeceng napogaui. Narekko engkai maja, ajasija mupogaui nrewei matti jana riko.
Artinya :  Berkata Puang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian, itulah yang paling baik ditanamkan pada diri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata Tunggal. Yang disebut pandai ialah kemampuan untuk melihat akhir(akibat) perbuatan. Dan dikerjakannya adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan keburukan, janganlah lakukan. Bilamana tidak baik, jaganlah hendaknya engkau kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya kepadamu.”


IKHTISAR PETA BUDAYA SUKU-SUKU DI SULAWESI SELATAN

Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi
Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Man-dar.
Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo, Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas)), Enrekang, Luwu, Pare- pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang- orang Duri atau Massenrempulu’.
Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.
Berdasarkan rumpun bahasa Daerahnya, maka di Sulawesi Selatan ini ada enam rumpun bahasa, seperti : Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Mandar, Bahasa Luwu, Bahasa Toraja, dan Bahasa Massenrempulu’.
Rumpun bahasa Makassar meliputi daerah Gowa, Takalar, Jeneponto(Tauratea), Bantaeng, Selayar, Kajang (Bulukumba), Manipi ( Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai).
Rumpun bahasa Bugis meliputi daerah Sinjai, Bone, Wajo, Pinrang, Sidenreng-Rappang (sidrap), Bulukumba, Pare-Pare, juga di sebagian daerah Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Maros, Mandar, Enrekang, Barru dan palopo (Luwu).
Rumpun bahasa Mandar meliputi daerah Polmas, Majene dan di sebagian daerah
Pinrang.
Rumpun bahasa Luwu meliputi daerah Luwu dimana sub-sub lokalnya punya bahasa sendiri-sendiri. Di daerah ini ada dua belas bahasa, seperti bahasa Bugis, bahasa Barru, bahasa Siko, bahasa Lubung, bahasa Wotu, bahasa Pajatabu, bahasa Mangkutana, bahasa Saroako, bahasa Paraso, bahasa Siwa, bahasa Toraja dan bahasa Pamuna. Bahasa Bugis digunakan oleh masyarakat dalam kota palopo ( ibu kota kabupaten Luwu) dan daerah pesisir pantai Wotu. Sub-sub lokal bahasa dan karakteristik budaya di daerah ini menandai adanya Sembilan anak-suku.
Rumpun bahasa Toraja meliputi daerah Toraja, terutama Makale dan Rantepao, juga di sebagian wilayah sub lokal Masamba (di daerah Luwu, sekitar enam puluh kilometre utara palopo).
Rumpun bahasa Massenrempulu’ meliputi daerah Massenrempulu’ , terutama Enrekang dan daerah-daerah sekitarnya yang diliputi gunung-gunung: Maspul (Massenrempulu’), yakni di sebagian wilayah Kabupaten Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas) dan Toraja.
Ditinjau dari segi penyebaran bahasa dan jumlah area masyarakat pemakainya, jelas di sini suku Bugis-Makassar merupakan suku-bangsa utama dan terbanyak mendiami daerah kontinental Sulawesi selatan ini. Urutan di bawahnya : Toraja menyusul Mandar.
Bertolak dari pemaparan di atas, penulis mencoba menggali perbendaharaan “ SIRIK” sebagai study Antrophologi Budaya Di Sulawesi selatan. Berikut ini penulis menggungkapkan aspek-aspek “SIRIK” itu sendiri.
Dengan mengkaji unsur-unsur yang bertali temali dengan permasalahan “SIRIK” tersebut, misalnya aspek-aspek “PACCE” (Makassar) , atau “PESSE” (Bugis), tentu saja dalam penggalian nilai-nilai “SIRIK” ini kita akan bersentuhan pula dengan aspek-aspek sejarah kehadiran suku-suku bangsa tersebut, secara selintang pandang. Dan sedikit
banyaknya bersentuhan pula dengan aspek falsafah hidup sikap mental masyarakatnya yang melatar-belakangi permasalahan “SIRIK” yang kita coba gali ala kadarnya melalui Risalah Study Antrophologi ini.
Catatan : Oleh lembaga Bahasa Nasional Cabang III Ujung Pandang, telah diusahakan langkah-langkah pemetaan bahasa-bahasa yang terdapat atau yang dipergunakan suku-suku yang kini mendiami Sulawesi selatan secara turun temurun itu.