Senin, 13 Desember 2010

Perkawinan Bugis


Perkawinan Bugis
By : Bahtiar
Artikel  ini merupakan hasil penelitian Susan Bolyard Millar di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Susan menjelaskan perkawinan Bugis dalam lima tahap: (1) Pelamaran; (2) Pertunangan; (3) Pernikahan; (4) Pesta Perkawinan; (5) Pertemuan resmi berikutnya. Yang kesemuanya itu dilandaskan pada prinsip dan tata cara adat.

Susan membongkar dan mendesain kembali nilai-nilai budaya yang terdapat dalam prosesi perkawinan Bugis dan penulis juga berhasil mengangkat ke permukaan makna-makna yang melekat dalam pernak-pernik pernikahan yang sering dilewatkan begitu saja
Susan juga mengamati posisi duduk, cara menempatkan nama dalam teks undangan, orang-orang yang diundang melakukan ritus tertentu dalam serangkaian ritus panjang pernikahan tersebut dengan menggunakan pendekatan semiotik (simbol, ikon, indeks) dan semantik (makna kata/kalimat), dari tempat khususnya wilayah dimana ia melakukan riset penelitian yakni di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, sebuah wilayah yang terletak pada 175 km di kawasan barat daya Makassar.

Didalam buku pula disajikan dengan berbagai macam aspek yang terjadi sebelum dan sesudah prosesi ritual perkawinan yang dilakukan Suku Bugis. Bukan hanya itu, ia juga memaparkan dengan berbagai macam peran orang yang diamanatkan untuk menjalankan prosesi perkawinan tersebut, dipandang dari aspek budaya, sosial, dan ekonomi.

Proses perkawinan dilakukan dengan menitikberatkan pada istilah orang yang dituakan (Tau Matoa). Tau Matoa merupakan bentuk pencapaian seperti apa yang harus ditempuh oleh calon pengantin yang disesuaikan dengan bentuk dan keadaan sosial, ekonomi dan politik saat itu.Tau Matoa juga memiliki peran sentral yang dipandang dari aspek keturunan (penentuan generasi), terbukti Tau Matoa selalu memiliki pewaris. Pewaris itu bisa saja anak atau keponakan Tau Matoa sebelumnya.

Karena itu, dalam budaya Bugis dapat dikatakan bahwa sifat-sifat unggul diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya sehingga Susan berasumsi bahwa sejarah Sulawesi Selatan adalah sejarah tentang seberapa besar jaringan Tau Matoa, seberapa besar mereka memelihara kualitas keturunan dengan pernikahan serumpun, serta seberapa besar mereka menjaga pertalian kerabat dengan mendorong perkawinan serumpun (endogami) kepada para pengikutnya serta merangkul kekuatan baru dengan strategi perkawinan dengan orang luar (eksogami) dengan rival sesama Tau Matoa atau dengan orang luar yang dapat mendatangkan keuntungan baik dalam bidang usaha, ekonomi, pemerintahan atau pertanahan.
Susan juga menjelaskan bagaimana kuasa politik berlangsung di SUlawesi Selatan, bagaimana kelompok-kelompok kekuasaan baru terus bermunculan, dan juga bagaimana sistem perkawinan Bugis modern terbentuk dari sistem perkawinan zaman dulu yang bertahan hingga sekarang. Semua itu diulasnya dengan kaitan sejarah etnografi pernikahan, sejarah Orang Bugis, pembentukan kerajaan-kerajaan yang muncul pada Abad ke-16 hingga Abad ke-20, revolusi dan pemberontakan pasca kemerdekaan, penciptaan kestabilan dalam ketegangan dibawah kekuasaan Orde Baru. Akan tetapi semuanya itu menjelma dan terkikis oleh peradabang modern sehingga budaya, adat istiadat, dan nilai kesakralan terkikis oleh arus modernisasi.
Buku ini menyajikan pula tata ruang baru dalam berbagai macam paradigma-paradigma yang dipandang dari aspek sosial, ekonomi, politik dalam prosesi perkawinan Bugis, khususnya di Kabupaten Soppeng, SUlawesi Selatan.
Check out my other on Kamasutra-Bugis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar