Kamis, 09 Desember 2010

Penikahan Bugis

Pernikahan Bugis, "Menipu" dan Kehilangan Makna?
oleh : Bahtiar
Mereka adalah Drs.M. Yahya, MA yang juga kerap kami panggil “Yahya Pojiale” dosen pada jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas. Ketiga, Aslan Abidin, sastrawan yang lahir di Soppeng, 31 Mei 1972. Buku “Pernikahan Bugis” sendiri, menurut penyuntingnya (Ininnawa, 2009) satu-satunya penelitian serius, mendalam, dan menyeluruh tentang pesta pernikahan Bugis. Tak lupa, menelisik aspek-aspek sosial-politik yang tersurat di baliknya.
Dalam buku itu, tidak hanya mendapatkan abstraksi yang berlangsung di dalam pernikahan Bugis. Buku ini mendedah tata ruang aula pesta, ritual, hingga teks undangan pernikahan Bugis yang penuh dengan simbol-simbol politis yang berjalin di alam pikiran orang Bugis.
Peserta yang hadir sekitar 20 orang termasuk ketiga pembicara. Saat saya sampai telah hadir Wahyuddin Halim yang sedang berbincang dengan Mattewakkan “Matte” Monga (yang saat itu didaulat sebagai moderator).
Wahyuddin Halim sebagai pembicara pertama, dengan gamblang menyebut perkawinan dengan adat Bugis seolah telah menjadi lembaga judi dan lelang. Bagi Wahyuddin yang memang telah banyak menyorot ihwal kebudayaan kaitannya dengan implementasi budaya dan ritual keagamaan di Sulawesi Selatan ini, pernikahan Bugis telah menjadi ajang untuk mencari pihak (pasangan) yang bersedia meyiapkan mahar dan uang belanja paling tinggi.
Wahyuddin yang beristrikan wanita dari Tanah Jawa ini, bahkan mengambil contoh tentang dirinya yang lahir dan besar di Wajo, praktek semacam ini telah menjadi gejala yang disadari atau tidak jika tidak mampu mempunyai argumentasi tentu akan menyeret dirinya pada “praktek” yang sedemikian itu.
Disadari bahwa inilah kecenderungan perilaku masyarakat yang setidaknya tidak bisa dilepaskan dari interpretasi mereka atas “tiga ujung”, atau (Makassar, tallu cappaq), yaitu ujung kelamin, lidah dan badik. “Tapi saat ini, saya kira kita perlu menambahkannya dengan ujung yang keempat yaitu ujung pena” Katanya dengan senyum. Tujuannya jelas,bahwa jika kompetisi diarahkan pada produktifitas, kreatifitas (yang diidentikkan dengan kecerdasan dan kerja keras) tentu akan menjadi entry point yang baik.
Demi pencitraan di masyarakat itulah, pesta perkawinan bisa diselenggarakan dengan uang pinjaman sekalipun.Secara gamblang bahwa keinginan yang berlebihan dengan status sosial ini setidaknya berkaitan dengan motif sosial, yaitu ekonomi, keamanan, dan aktualisasi diri .
Di mata Aslan, Buku Susan masih terbatas pada locus Soppeng dan hanya memotret situasi pada tahun 70an hingga 80an serasa “tidak utuh” namun demikian dia tetap menganggap bahwa “generalisasi” masih dibolehkan jika membaca tren dan gagasan yang dikemukakan oleh Susan.
Hal lainnya adalah belum terkuaknya penjelasan tentang makna dan urgensi setiap prosesi bahkan yang terkait dengan “jenis kue yang disajikan dan berkelas, tentang siapa yang masak nasi, dan bagaimana apresiasi atas peran masing-masing pihak”
Coba lihat menu-menu buatan yang memanipulasi bentuk dan isinya. Begitulah, ketiga penanggap sepakat bahwa telah terjadi perubahan pada tradisi dan pelaksanaan perkawinan Bugis ini, setting perkawinan yang sejatinya menjadi suci dan agung telah bergeser menjadi panggung penuh kepalsuan, “keterpaksaan” dan persaingan belaka. Mereka juga menyepakati bahwa hal ini terjadi karena cara berpikir masyarakat Bugis dalam menyikapi perbedaan strata dan peran sosial di tengah masyarakat.

 Check out my other on Budaya Bugis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar